Kamis, 17 November 2016

Islam di Andalusia

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Secara geografis Cordova terletak di Provinsi Andalusia, sebelah Barat Spanyol. Kota bersejarah itu bertengger di sepanjang tebing sungai Guadalquivir. Kota tersebut pada awalnya bernama Iberi Bath yang dibangun pada masa pemerintahan Romawi di Guadalquivir. Sejarah Cordova  datang ke wilayah itu  pada tahun 711 M atau 93 H dan berada di bawah komando Thariq bin Ziyad, tentara Islam yang berhasil menaklukan Spanyol dari Goth Barat di bawah kekaisaran Visigoth. Tharif bin Malik dan Musa bin Nusair juga merupakan pahlawan legendaris penakluk Andalusia.
Kemajuan peradaban manusia tak lepas dari campur tangan Islam. Ini dibuktikan dengan kemajuan ilmu pengetahuan, berdiri tegaknya istana-istana, dan hadirnya jalanan yang diterangi oleh lentera di daerah yang dulunya bernama Vandal dan kemudian disebut sebagai Andalusia oleh Bangsa Arab. Kejayaan itu terjadi tepatnya pada masa pemerintahan Abdurrahman III yang bergelar An-Nashir. Dia mendirikan Universitas Cordova yang perpustakaannya memiliki ratusan ribu koleksi buku. Orang-orang dari Barat banyak yang menimbah ilmu ke Andalusia. Dari sinilah terlahir ilmuwan-ilmuwan yang berintelektual tinggi.

Melihat begitu jayanya Islam di Andalusia pada masa itu, tidak ada alasan bagi kita untuk tidak mempelajari faktor apa yang menyebabkan Islam maju pesat, baik di bidang ilmu pengetahuan maupun dalam pembangunan arsitektur yang megah dan kokoh berdiri di atas tanah yang sekarang kita kenal sebagai Spanyol. H.A.R. Gibb dalam bukunya Whitter Islam menyatakan, “Islam sesungguhnya lebih dari sekedar sebuah agama, ia adalah sebuah peradaban yang sempurna”.

1.2 Rumusan Masalah
1.      Bagaimana proses masuknya Islam ke Andalusia?
2.      Bagaimana kondisi politik dan sosial pasca masuknya Islam ke Andalusia?
3.      Bagaimana masa kejayaan Islam di Andalusia?
4.      Apa faktor jatuhnya Islam di Andalusia?




BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Proses Masuknya Islam ke Andalusia
Islam berhasil menguasai Andalusia pada masa Khalifah Al-Walid (705-715 M.). Keberhasilan ini bermula pasca jatuhnya Afrika Utara ke Dinasti Umayyah menyebabkan kekhawatiran kaum muslimin terhadap kemungkinan terjadinya serangan tentara Goth dan pasukan Eropa lainnya mengingat mereka dipisahkan oleh sebuah selat saja. Bukan hanya itu, kondisi politik Kerajaan Gothic saat itu sedang tidak stabil karena terjadi perebutan kekuasaan. Ketidaktoleransian penguasa Gothic terhadap agama selain Kristen mengingat banyaknya kaum Yahudi yang tinggal di sana tak luput dari sebab kekhawatiran kaum muslimin sendiri. Berdasarkan semangat kuat kaum muslimin menyebabkan mereka semakin termotivasi untuk menaklukkan bumi Andalusia.

Di balik penaklukan Andalusia, terdapat tiga sosok yang mempunyai semangat juang tinggi untuk memperluas wilayah kekuasaan Islam. Mereka adalah Tharif bin Malik, Musa bin Nushair, dan Thariq bin Ziyad. Tharif bin Malik berperan sebagai perintis dan penyelidik, sementara itu Musa bin Nushair dan Thariq bin Ziyad bisa dikatakan sebagai penakluk karena hasilnya yang lebih besar.
2.1.1   Tharif bin Malik Sebagai Perintis
Penaklukan islam di Andalusia diawali ketika Tharif bin Malik bersama lima ratus[1] pasukannya menyeberangi selat yang berada diantara Maroko dan Benua Eropa menggunakan empat buah perahu yang disediakan oleh Julian[2]. Tidak hanya itu, Julian juga ikut serta dalam pasukan Tharif dan banyak membantu dalam proses penaklukan pasukan Goth yang ada di pantai Tarifa dengan menunjukkan kelemahan-kelemahan pasukan Goth. Setelah meraih kemenangan, Tharif kembali ke Tanjah dengan membawa informasi-informasi yang jauh lebih penting daripada ghanimah yang diperolehnya pada tahun 710 M/91 H.
2.1.2 Penaklukan Andalusia oleh Thariq bin Ziyad
Pada tahun 711 M., Musa bin Nushair mempersiapkan tujuh ribu pasukan muslimin yang dipimpin oleh Thariq bin Ziyad. Pada tanggal 5 Rajab 92 H/18 April 711 M pasukan Thariq bin Ziyad tiba di kepala semenanjung Andalus bagian selatan yaitu sebuah tempat yang dikenal dengan nama Jabal Thariq (Gibraltar). Setelah pendaratan, Thariq memerintahkan untuk membakar habis semua perahu yang digunakannya, kemudian ia naik ke sebuah bukit dan berpidato, “Kita sekarang berada antara dua pilihan menang atau mati. Di belakang kita terbentang sebuah lautan, sedangkan di hadapan kita lawan sudah menghunus pedang. Tiada lagi jalan mundur. Barangsiapa lapar ambillah makanan yang telah tersedia di tangan lawan dan barangsiapa memerlukan senjata, ambillah dari tangan lawan.” Setelah membacakan ayat-ayat suci Al-Quran, Thariq lalu mengajak semua pasukannya untuk berdoa memohon inayah ilahi.[3]

Sebelum Thariq bertolak ke Andalus, Musa  bin Nushair berpesan supaya Thariq segera kembali ke Tanjah apabila ia telah berhasil memenangkan pertempuran melawan pasukan Gothic di Andalus. Jika disebabkan oleh sesuatu hal Thariq tidak segera kembali, ia harus tetap berada di daerah yang direbutnya sampai datangnya perintah lebih lanjut dari Musa bin Nushair. Di samping itu, Musa bin Nushair juga memerintahkan supaya Thariq mengikutsertakan Julian dalam gerakan-gerakan militernya.[4]

Di Andalusia, kota yang pertama ditaklukan Thariq adalah Kota Cartagena yang terletak di sebelah utara Jabal At-Thariq. Setelah berhasil ditaklukan, kota itu sempat berganti nama menjadi Qartayannat al-Halfa. Dari Kota Cartagena Thariq menuju ke Kota Algeciras. Sumber yang lain[5] mengatakan bahwa Thariq mengubah arah tujuan menuju ke arah barat menyelusuri daerah dekat telaga di perbatasan Kota Logo atas saran dari Julian. Pada masa itu Raja Rodherick yang sedang berperang dengan Basque[6] segera kembali ke Cordoba. Di sana ia segera menyusun strategi dan berhasil mengumpulkan seratus ribu prajurit untuk menghadang pasukan Thariq. Mengetahui pasukannya hanya berjumlah tujuh ribu orang Thariq meminta tambahan pasukan kepada Musa bin Nusair di Tanjah. Mendengar permintaan Thariq, Musa kemudian mengirimkan lima ribu pasukan untuk bergabung dengan pasukan Thariq. Setelah melalui pertempuran yang sengit, Raja Rodherick kalah dan terbunuh kemudian pertempuran ini dikenal sebagai pertempuran Guadalete.
Pertempuran Guadalete akhirnya dimenangkan oleh kaum muslim. Thariq bin Ziyad melanjutkan penaklukannya meliputi Sidonia, Carmona, Alcala de Guadaira, Guadalaraja, dan Ecija. Sebelum melanjutkan penaklukannya, Thariq teringat pesan Musa bin Nusair untuk segera kembali ke Afrika Utara pasca mengalahkan pasukan Goth. Namun, apabila pesan tersebut dilaksanakan, Thariq khawatir pasukan Goth akan melancarkan serangan balasan. Berdasarkan pertimbangan tersebut, Thariq melanjutkan penaklukannya meliputi Cordoba, Granada, Almunecar, ibukota Kerajaan Gothic Toledo, dan yang terakhir kota kecil di dekat Toledo yang bernama Medinat Al-Maida.
2.1.3  Penaklukan Andalusia oleh Musa bin Nushair
Berita kemenangan Thariq bin Ziyad terdengar hingga telinga Musa bin Nusair. Ia menunjuk anak bungsunya, Abdullah bin Musa, sebagai penguasa Afrika Utara kemudian berangkat menuju Andalus dengan delapan belas ribu pasukan[7] (menurut sumber lain sepuluh ribu)[8]. Musa bin Nusair tiba di Andalus pada bulan Ramadhan 93 H/Juni 712 M. Dalam menaklukannya Musa menempuh jalan yang tidak dilalui oleh Thariq meliputi kota Seville, Niebla, Faro, Beja, Malaga, Evora, Jaen, Sagunto, Murcia, Merida, dan Talavera.
Di Talavera, Musa bin Nusair bertemu dengan Thariq bin Ziyad. Hampir semua penulis sejarah mencatat pertemuan antara Musa dan Thariq kurang begitu bersahabat. Musa bin Nusair merasa tidak senang karena Thariq tidak mengikuti pesannya untuk segera kembali ke Afrika Utara paska mengalahkan pasukan Goth. Thariq yang menyadari kemarahan Musa segera meminta maaf dan menjelaskan alasan ia melanjutkan penaklukannya. Permintaan maaf tersebut diterima oleh Musa meskipun pada akhirnya pada tahun yang sama (93H) Musa memecat Thariq dari jabatan panglima Muslimin di Andalusia. Dengan ini, Musa bin Nusair menjabat sebagai panglima tertinggi di Afrika Utara dan Andalusia.
Pasca pertemuan tersebut, Musa dan Thariq menggabungkan pasukan dan berhasil membebaskan Zaragoza. Di kota ini, Musa mendirikan masjid besar Sarakusta yang sekarang telah berubah menjadi Katedral La Seo. Dari Zaragoza, pasukan muslimin melanjutkan pembebasannya meliputi Burgos, Coimbra, Santarem, Mertola, Salamanca, Valencia, Valladolid, Barcelona, Leon, Astorga, Oviedo, dan Gijon. Dengan keberhasilan tersebut, kekuasaan Dinasti Umayyah telah tersebar luas hingga Andalusia yang kelak menjadi peradaban paling berpengaruh  bagi bangsa-bangsa eropa bahkan dunia.





2.2    Kondisi Politik dan Sosial paska masuknya Islam ke Andalusia
2.2.1   Kondisi Politik
Islam menguasai Andalusia selama Tujuh setengah abad. Dalam waktu yang tidak sebentar itu, Islam banyak menorehkan prestasi gemilang di Andalusia. Sejarah panjang Islam di Andalusia terbagi menjadi enam periode, yaitu:

1.      Periode Pertama (711-755 M)
Pada periode ini, Spanyol berada di bawah pemerintahan wali yang diangkat oleh  Khalifah Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus. Stabilitas politik pada periode ini belum tercapai secara sempurna. Banyak gangguan yang dating silih berganti, baik dari dalam maupun dari luar. Gangguan dari dalam dipicu oleh perselisihan di antara elit penguasa, terutama perbedaan etnis dan golongan. Di samping itu terdapat perbedaan pandangan antara khalifah di Damaskus dan gubernur Afrika Utara yang berpusat di Kairawan. Gangguan dari luar datang dari sisa-sisa musuh Islam di Andalusia yang bertempat tinggal di daerah pegunungan yang memang tidak pernah tunduk kepada pemerintahan Islam. Karena sering terjadi konflik, baik dari dalam maupun dari luar, pada periode ini belum ada pembangunan di bidang peradaban dan kebudayaan.

2.      Periode Kedua (755-912 M)
Pada periode ini, pemerintahan Andalusia dipimin oleh seorang amir (panglima atau gubernur) tetapi tidak tunduk pada pusat pemerintahan Islam yang ketika itu dipegang oleh khalifah Abbasiyah di Baghdad. Amir yang pertama adalah Abdurrahman I yang bergelar Ad-Dakhil (yang masuk ke Andalusia). Abdurrahman Ad-Dakhil merupakan orang yang berhasil lolos dari kejaran Bani Abbas dan berhasil mendirikan dinasti Bani Umayyah di Andalusia. Penguasa-penguasa Spanyol pada periode ini adalah Abdurrahman Ad-Dakhil, Hisyam I, Hakam I, Abdurrahman Al-Ausath, Muhammad bin Abdurrahman, Munzir bin Muhammad, dan Abdullah bin Muhammad.
Umat Islam meraih kemajuan-kemajuan di bidang politik maupun peradaban di periode ini. Abdurrahman Ad-Dakhil mendirikan masjid Cordova dan sekolah-sekolah di kota-kota besar yang berada di Andalusia. Hisyam dikenal sebagai berjasa dalam menegakkan hukum Islam dan Hakam dikenal sebagai pembaharu di bidang kemiliteran, seperti memprakarsai tentara bayaran di Andalusia. Abdurrahman Al-Ausath dikenal sebagai penguasa yang cinta ilmu, terutama tentang pemikiran filsafat.
Pada pertengahan abad ke-9, kerusuhan mulai terlihat dengan munculnya gerakan Kristen fanatik yang mencari kesyahidan (Martyrdom).[9] Namun, gereja Kristen lainnya tidak ada yang bersimpati dengan gerakan itu, dikarenakan pemerintah Islam menerapkan kebebasan beragama. Gangguan politik yang sangat berpengaruh adalah dari golongan umat muslim sendiri. Golongan pemberontak di Toledo pada tahun 852 M membentuk negara kota yang berlangsung selama 80 tahun. Ada juga pemberontakan yang dipimpin oleh Hafshun dan anaknya yang berpusat di pegunungan dekat Malaga. Perselihan antara orang Arab dan Barbar juga masih sering terjadi.
3.      Periode Ketiga (912-1023 M)
Pada periode ini, Andalusia dipimpin oleh seorang penguasa yang bergelar khalifah. Penggunaan gelar khalifah ini bermula dari berita yang sampai kepada Abdurrahaman III, bahwa Al-Muktadir, khalifah daulat Bani Abbas di Baghdad meninggal dunia karena dibunuh pengawalnya sendiri. Menurut penilaiannya, keadaan ini merupakan kesempatan yang paling tepat untuk memakai gelar khalifah. Karena itulah, gelar khalifah mulai dipakai tahun 929 M. Khalifah besar yang memimpin Andalusia diantaranya adalah Abdurrahman An-Nashir (912-961 M), Hakam II (961-976 M), dan Hisyam II (976-1009 M). Di periode ini umat Islam di Andalusia mencapai puncak kejayaan. Abdurrahman An-Nashir mendirikan Universitas Cordova. Hakam II yang seorang kolektor buku mendirikan perpustakaan. Pembangunan kota juga sangat pesat. Pada masa emas ini masyarakat merasakan kesejahteraan dan kemakmuran.
Namun pada tahun 1008 M, kekhalifahan ini mengalami kemunduran ketika wafatnya khalifah Al-Muzaffar dan digantikan oleh adiknya yang tidak memiliki kualitas sebagai khalifah. Dalam beberapa tahun saja, negara yang tadinya makmur dilanda kekacauaan dan mengalami kehancuran total. Akhirnya pada tahun 1013 M, Dewan Menteri yang memerintah Cordova menghapuskan jabatan khalifah. Ketika itu, Spanyol sudah terpecah dalam banyak negara kecil yang berpusat di kota-kota tertentu.
4.      Periode Keempat (1013-1086 M)
Pada periode ini, Andalusia terpecah menjadi lebih dari tiga puluh negara kecil di bawah pemerintahan raja-raja atau golongan (Al-Mulukuth-Thawaif), yang berpusat di suatu kota seperti Cordova, Seville, Toledo, dan lain-lain. Negara terbesar pada masa itu adalah Abbadiyah di Seville. Pada periode ini, muslim Andalusia kembali memasuki masa pertikaian internal, apabila terjadi perang saudara, selalu ada pihak yang meminta bantuan kepada kerajaan Kristen. Melihat keadaan Islam yang terpecah belah, orang-orang kristen pada masa ini mulai mengambil inisiatif penyerangan. Meskipun tidak sampai meruntuhkan kekuasaan Islam di Andalusia.

5.      Periode Kelima (1086-1248 M)
Pada periode ini, Islam di Andalusia tetap terpecah dalam beberapa negara, dan kekuasaan yang paling dominan adalah dinasti Murabithun (1086-1143 M) dan dinasti Muwahhidun (1146-1235 M). Dinasti Murabithun pada awalnya adalah gerakan agama yang didirikan oleh Yusuf bin Tasyif di Afrika Utara yang berhasil mendirikan sebuah kerajaan yang berpusat di Marakesy pada tahun 1062 M. Yusuf ibn Tasyif masuk ke Andalusia atas undangan penguasa-penguasa Islam di sana, untuk membantu mempertahankan negeri-negerinya dari serangan orang-orang Kristen. Yusuf dan tentaranya memasuki Andalusia pada tahun 1086 M dan berhasil mengalahkan tentara Castilia. Memanfaatkan perpecahan raja-raja muslim, ia berhasil memperluas dinasti Murabithun hingga Andalusia. Namun pada akhirnya, dinasti ini mengalami kemunduran dan Zaragoza jatuh ke tangan kristen pada tahun 1118 M. Kemudian dinasti ini benar-benar runtuh pada 1143 M dan digantikan oleh dinasti Murabithun.
Selama tiga tahun paska runtuhnya dinasti Murabithun, umat Islam di Andalusia kembali terpecah menjadi dinasti-dinasti kecil. Namun pada tahun 1146 M, penguasa dinasti Muwahhidun yang berpusat di Afrika Utara berhasil merebut kembali Andalusia. Kota-kota penting seperti Cordova, Almeria, dan Granada berhasil dikuasai oleh dinasti Muwahhidun. Untuk beberapa dekade, dinasti ini mengalami banyak kemajuan dan kekuatan kerajaan Kristen dapat dipukul mundur. Akan tetapi, pada akhirnya dinasti Muwahhidun  mengalami kemunduran. Pada tahun 1212 M, tentara Kristen berhasil memperoleh kemenangan besar di pertempuran Las Navas de Tolesa. Kemudian diikuti dengan kekalahan-kekalahan yang lain sehingga penguasanya memilih untuk mundur ke Afrika Utara pada tahun 1235 M. Kekalahan dinasti Muwahhidun membuat muslim Andalusia kembali terpecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Dalam kondisi demikian, kerajaan Kristen berhasil merebut seluruh Andalusia kecuali Granada.
6.      Periode Keenam (1248-1492 M)
Pada periode ini kekuasaan Islam hanya tersisa di daerah Granada, di bawah dinasti Bani Ahmar (1232-1492 M). Selama itu, Islam kembali mengalami kemajuan meskipun hanya memiliki wilayah yang kecil. Kerajaan ini mengalami keruntuhan akibat perselisihan orang-orang istana dalam memperebutkan kekuasaan. Perselisihan ini diawali ketika Abu Abdullah Muhammad merasa tidak senang kepada ayahnya karena tidak menunjuk dirinya sebagai raja, dan malah memilih saudaranya yang lain. Abu Abdullah kemudian memberontak dan berusaha melakukan kudeta. Dalam kudeta tersebut, ayahnya terbunuh dan digantikan oleh Muhammad bin Sa’ad. Abu Abdullah kemudian meminta bantuan kepada Ferdinand dan Isabella[10] untuk menjatuhkan Muhammad bin Sa’ad.
Dengan bantuan Ferdinand dan Isabella,  Abu Abdullah berhasil menjatuhkan Muhammad bin Sa’ad dan kemudian Abu Abdullah naik tahta. Namun Ferdinand dan Isabella memiliki alasan tersembunyi dalam membantu Abu Abdullah. Mereka ingin memanfaatkan situasi politik Bani Ahmar yang lemah untuk merebut Granada. Pada akhirnya, dengan pada tahun 1492 M, Ferdinand dan Isabella berhasil mengalahkan Abu Muhammad dan menguasai Granada. Umat Islam pada saat itu dihadapkan pada dua pilihan, yakni masuk Kristen atau meninggalkan Andalusia. Pada tahun 1609 M, boleh dikatakan tidak ada lagi umat Islam di daerah ini.
2.2.2   Kondisi Sosial
1.   Penduduk Andalus Sebelum Kedatangan Islam
Penduduk Andalusia sebelum ditaklukan oleh dinasti Umayyah terdiri dari orang Goth, Romawi, Italia, dan Yahudi. Orang Goth adalah golongan yang berkuasa, banyak dari mereka bergelar Raja, kaum bangsawan, dan tuan tanah besar. Kebanyakan dari mereka saat itu memeluk agama Nasrani madzhab Katholik. Namun sebagian kecil dari mereka menganut madzhab Arius. Semua golongan penduduk tersebut bermukim di kota-kota besar seperti Toledo, Sevilla, Merida, dan Cordoba. Untuk orang romawi kebanyakan berkmukim di daerah-daerah pantai timur dan tenggara semenanjung Iberia. Tetapi sebagian lagi bermukim di kota-kota.
Mayoritas penduduk di Andalusia terdiri dari orang Spanyol yang berasal dari ras campuran akibat gelombang pembauran manusia. Namun ras tersebut didominasi unsur ras Katalan, oleh karena itu mereka pada umumnya disebut orang Iberia. Mereka didominasi kaum petani dan pekerja tangan yang selalu menjadi sasaran para penguasa dan antek-anteknya.
Lain lagi untuk orang Yahudi. Mereka adalah orang perantauan di Iberia. Mereka tidak mempunyai hubungan ras dengan penduduk setempat serta agama mereka pun berbeda. Meskipun demikian, mereka berhasil menguasai ekonomi dengan cara memberikan pijaman dalam jumlah besar kepada kalangan bangsawan dan tuan tanah feodal. Salain itu, mereka melakukan pemerasan terhadap golongan lemah serta bekerja sebagai pelepas uang riba dan melakukan perdagangan budak.
2.   Penduduk Andalus Setelah Kedatangan Islam
Pada masa pemerintahan Islam, Andalusia semakin kaya akan keberagaman ras. Hal tersebut disebabkan para penakluk Andalusia berasal dari berbagai daerah Arab. Mereka datang membawa sisa-sisa penyakit sosial jahiliyyah diantaranya kekeluargaan, sekuisme, kabilahisme, daerahisme, dan fanatinisme yang berlebihan. Karenanya penduduk Andalusia semakin terbagi-bagi berdasarkan keagamaan, jenis bangsa, dan susunan masyarakat. Kelompok-kelompok meliputi orang Arab Andalusia, orang Barbar Andalusia, orang peranakan, orang Nasrani, orang Dzimmi, orang Yahudi, dan orang Kafir. 
a.   Orang Arab Andalusia
Orang Arab di Andalusia terbagi menjadi dua golongan besar dan saling berseteru, yakni orang Qeis yang berasal dari Syam[11] dengan orang yang berasal dari Yaman. Dari kedua golongan tersebut ada sebagian yang diberi nama “Ahlul Balad”. Ahlul Balad ialah orang Arab yang datang pada gelombang-gelombang pertama penaklukan bersama Thariq bin Ziyad dan Musa bin Nushair. Kebanyakan orang Arab bermukim di daerah dekat pantai timur dan tenggara Andalus karena iklimnya mendekati iklim negeri asalnya. Namun ada sebagian kecil yang bermukim di daerah sebelah utara dan selatan.

b.   Orang Barbar Andalusia
Setelah penaklukan Afrika Utara dan Maroko tuntas, sebagian besar penduduk mereka memeluk agama Islam. Kebanyakan dari mereka juga ikut serta dalam penaklukan Andalusia, sehingga orang Barbar ikut mendiami Andalusia. Sama dengan orang Arab, orang Barbar juga terbagi menjadi dua golongan besar, yaitu golongan Butr dan golongan Brens. Namun kedua golongan tersebut tidak pernah terjadi pertikaian. Orang Barbar kebanyakan tinggal di dataran tinggi dan pegunungan Andalusia yang kebanyakan terletak di daerah pedalaman-pedalaman dan Andalusia bagian Barat.

c.    Orang Peranakan
Di Andalusia, orang peranakan atau muwalladun diartikan keturunan orang Spanyol yang memeluk Islam. Sedangkan untuk orang tua mereka yang memeluk Islam pada waktu penaklukan disebut Musalamah atau kadang Musalamin. Jadi, sebutan Muwalladun diberikan kepada orang- orang yang dilahirkan oleh keluarga Musalamin.

d.   Orang Nasrani
Sebutan orang Nasrani pada masa itu dikenakan orang Arab di Andalusia kepada orang-orang yang bermukim di daerah-daerah di luar kekuasaan Islam, dan orang-orang yang awalnya berada di bawah pemerintahan Islam namun menyatakan keluar atau berontak. Sebutan Nasrani tidak berdasarkan ras, namun karena rata-rata mereka memeluk agama Nasrani.

e.    Orang Dzimmi
Dzimmi berasal dari kata dzimmah, artinya tanggungan. Orang dzimmi merupakan istilah kepada orang Yahudi atau Nasrani yang bersedia hidup di bawah pemerintahan Islam dengan syarat-syarat tertentu. Mereka dilindungi, ditanggung, dan dijamin keselamatan dirinya, keluarganya, dan hartanya. Mereka juga mendapat kelonggaran melakukan ibadah menurut agamanya masing-masing.

f.     Orang Yahudi
Pada Umumnya, orang Yahudi berstatus sama dengan orang Nasrani, hanya saja kebanyakan orang Yahudi memperoleh kedudukan lebih baik. Hal tersebut desebabkan besarnya bantuan bangsa Yahudi kepada kaum Muslimin pada saat penaklukan. Mereka kebanyakan bermukim di kota-kota besar di Andalusia.
g.   Orang kafir
Sebutan orang kafir di Andalusia ditujukan kepada mereka yang masih menyembah berhala. Mereka tidak mendapat hak-hak yang bisa dinikmati oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani.

2.3    Masa Kejayaan Islam di Andalusia
Masuk dan berkembangannya Islam di Cordova itu berlangsung dari tahun  711-912 M. Dari tahun 912-976 M, peradaban di Cordova mulai meningkat.  As-Samah bin Malik Al-Khaulani  adalah seorang tokoh yang membangun dan mengembangkan Cordova hingga  menjadi sebuah kota terbesar di Eropa. Pada pemerintahan Abdurrahman Ad-Dakhil atau  Abdurrahman I, Cordoba menjadi pusat perkembangan ilmu pengetahuan, kesenian, dan kesusasteraan di Benua Eropa.
Pada masa kejayaan Cordoba di bawah pemerintahan Islam mulai berlangsung pada pemerintahan  Khalifah Abdurrahman An-Nasir dan pada zaman pemerintahan anaknya yaitu Al-Hakam. Pada masa itu Cordoba telah mencapai masa kejayaannya, hingga mencapai kekayaan dan kemewahan yang belum pernah dicapai sebelumnya. Tak heran, pada waktu itu Cordoba mampu mensejajarkan diri dengan Baghdad. Tak hanya itu, Cordoba juga mampu setaraf dengan Constantinople, ibukota Bezantium sera Kaherah, ibukota kerajaan Fatimiah.
Pada masa kejayaannya itu, Cordoba mengalami kemajuan yang sangat pesat dalam bidang pendidikan, ilmu pengetahuan dan intelektual. Pada masa pamerintahan Abdurrahman III, berdirilah Universitas Cordoba yang  sangat terkenal. Dari Universitas inilah Barat menyerap ilmu pengetahuan. Pendidikan di Cordoba semakin bersinar pada masa pemerintahan Al-Hakam Al-Muntasir  dan diberi gelar Khalifah yang sangat alim. Dan pada masa pemerintahan nya itu berdirilah sekolah swasta sebanyak 27 sekolah. 70 gedung perpustakaan untuk menambah semaraknya  perkembangan ilmu, pengunjungnya bisa mencapai  400 ribu pengunjung. Pada saat itu terdapat 170 wanita yang berprofesi sebagai penulis Al-Qur’an dengan menggunakan huruf Kufi  yang sangat indah. Dan anak-anak fakir miskin pun bisa belajar secara gratis di 80 sekolah yang telah di sediakan oleh Khalifah.
Cordova dihiasi oleh Istana Az-Zahra yang sangat indah, Istana Damsik, Istana Al-Gazar, Menara Girilda yang bertempat di Granada. Kota ini didirikan oleh Khalifah Abdurrahman III dan dilanjutkan oleh Khalifah Al-Hakam II. Medina Az-Zahra awalnya diperuntukan sebagai pusat pemerintahan Andalusia yang letaknya 5 km dari kota Cordova. Zia Pasya seorang sejarawan dari Turki  melukiskan keindahan istana itu.  Pada masa itu, di Cordova terdapat 283 unit rumah tinggal, 900 kamar mandi umum, 800 unit sekolah, dan 50 unit rumah sakit. Pada masa pemerintahan Abdurrahman III, Abdurrahman III telah menciptakan kedamaian, kesejahteraan bagi rayatnya. Masa kejayaan itu hanya bertahan selama 320 tahun.

2.3.1 Tokoh-Tokoh yang Berperan di Andalusia
Kemajuan pesat yang terjadi di Andalusia merupakan hasil pengorbanan dari sosok-sosok legendaris. Bukan hanya para penakluk Andalusia saja, tapi juga para ilmuwan yang terlahir dari Andalusia, mereka semua sangat berjasa dalam masa keemasan Andalusia.
1.      Tokoh-Tokoh Penakluk Andalusia
Berikut adalah nama-nama penakluk Andalusia:
a.   Musa bin Nushair
Beliau mempunyai nama lengkap Musa bin Nushair bin Abdurrahman bin Zaid Al Lahmi. Lahir di Damaskus, pada tahun 19 H. Ayahnya adalah seorang komandan pengawal pribadi khalifah Muawiyah. Pada masa khalifah Abdul Aziz bin Marwan, Musa bin Nushair ikut dalam peperangan penaklukan Afrika. Pada tahun 33 H, khalifah Walid bin Abdul Malik mengangkat Musa bin Nushair menjadi gubernur Afrika bagian Utara dan sekitarnya. Musa bin Nushair adalah seorang yang pemberani, cerdas, dermawan, sangat bertakwa, berwibawa dan berpendirian kuat. Beliau wafat di daerah lembah Qura’ di Hijaz pada tahun 97 H.

b.  Thariq bin Ziyad
Pendekar Islam Andalusia ini mempunyai nama lengkap Thariq bin Ziyad Al Laitsi. Lahir sekitar tahun 50 H/670 M. Dia orang Barbar yang berasal dari shudfah yang berdomisili di pegunungan Maroko. Thariq bin Ziyad adalah ahli penunggang kuda, sangat pemberani, dan badannya sangat kuat. Thariq bin Ziyad berhasil menaklukan Andalusia pada tahun 711 M.  Beliau wafat pada tahun 720 M.

2.      Tokoh-Tokoh Ilmu Pengetahuan
Berkembangnya ilmu pengetahuan di Codova pada masa kejayaan Islam telah melahirkan sejumlah ilmuan dan ulama termasyhur. Cordova merupakan pusat intelektual di Eropa dengan perguruan-perguruan yang sangat terkenal dalam bidang kedokteran, matematika, filsafat, kesusasteraan dan bahkan juga musik. Diantara para ilmuan yang muncul pada masa kejayaan Islam di Cordova antara lain:
1. Ibnu Rusydi: Abul Al-Walid Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Rusydi, ia adalah seorang filosof yang telah berjasa mengintegrasikan Islam dengan tradisi pemikiraan Yunani.
2. Ibnu Hazmi: Seorang Ulama yang mujtahid. Ia telah menulis kitab Al-Muhalla.
3. Al-Qurtubi: Seorang ahli tafsir. Ia telah menulis tafsir Al-Qurtubi.
4. Az-Zahrawi: Seorang dokter alhi bedah. Dan ia telah memperkenalkan kejururawatan dan manciptakan alat pembedahan dan teknik teknik terbaru bedah luar dan dalam.
5. Ibnu Tufail: Seorang filusuf dan tabib yang hidup sekitar tahun 1100-1185 M.
2.4 Faktor Jatuhnya Islam di Andalusia
Dalam kurun waktu sekitar 7 abad, Islam telah mengibarkan benderanya di Andalusia. Selama periode itu Islam di Andalusia mengalami pasang surut kejayaan. Namun, tidak bisa dipungkiri banyak sekali prestasi-prestasi yang ditorehkan oleh kaum Muslimin Andalusia. Sayangnya, kejayaan itu harus berakhir setelah khalifah terakhir Bani Ahmar bertekuk lutut pada Ferdinand dan Isabella pada tahun 1492. Dari hal tersebut, dapat kita pelajari penyebab kemunduran dan kehancuran Islam di Andalusia adalah sebagai berikut[12] :
1.      Konflik Islam dengan Kristen
Para penguasa Muslim tidak melakukan Islamisasi secara sempurna. Mereka sudah merasa puas dengan hanya menagih upeti dari kerajaan-kerajaan Kristen yang ditaklukannya dan membiarkan mereka mempertahankan hukum dan adat mereka. Selain itu, pada abad ke-11 M umat Kristen memperoleh kemajuan pesat, sementara umat Islam mengalami kemunduran.

2.      Tidak Adanya Ideologi Pemersatu
Di Andalusia, orang-orang Arab tidak pernah menerima pribumi. Setidaknya sampai abad ke-10 M, mereka masih memberi istilah ‘ibad dan muwalladun kepada para muallaf, suatu ungkapan yang dinilai merendahkan. Akibatnya, kelompok-kelompok etnis non-Arab yang ada sering menggerogoti dan merusak perdamaian. Hal itu mendatangkan dampak besar terhadap sejarah sosio-ekonomi negeri tersebut. Hal ini dikarenakan tidak adanya ideologi yang memberi makna persatuan, disamping kurangnya figur yang dapat menjadi personifikasi ideologi itu.

3.      Kesulitan Ekonomi
Di paruh kedua masa Islam di Andalusia, para penguasa membangun kota dan mengembangkan ilmu pengetahuan dengan sangat “serius”, sehingga lalai membina perekonomian. Akibatnya timbul kesulitan ekonomi yang amat memberatkan dan mempengaruhi kondisi politik dan militer.

4.      Tidak Jelasnya Sistem Peralihan Kekuasaan
Sistem peralihan kekuasaan yang tidak jelas menyebabkan perebutan kekuasaan diantara ahli waris. Bahkan, karena inilah kekuasaan Bani Umayyah runtuh dan Muluk Al-Thawaif muncul. Granada yang merupakan pusat kekuasaan Islam terakhir di Andalusia jatuh ke tangan Ferdinand dan Isabella, diantaranya juga disebabkan permasalahan ini.

5.      Keterpencilan
Wilayah Andalusia bagaikan terpencil dari dunia Islam yang lain. Ia selalu berjuang sendirian, tanpa mendapat bantuan kecuali dari Afrika Utara. Dengan demikian, tidak ada kekuatan alternatif yang mampu membendung kebangkitan Kristen di sana.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Masuknya Islam ke Andalusia menunjukkan bahwa Islam telah melebarkan sayapnya hingga benua Eropa. Selama tujuh abad, peradaban Islam mengalami kemajuan yang cukup pesat baik di bidang keilmuan maupun kebudayaan. Pada masa itu, Andalusia merupakan kiblat kejayaan bagi kerajaan-kerajaan di Eropa. Meskipun pada akhirnya Islam di Andalusia runtuh, banyak ibrah yang bisa kita pelajari dari masuknya Islam ke Andalusia, antara lain sebagai berikut :
1.      Mudahnya Islam masuk dan diterima di Andalusia menunjukkan Islam merupakan agama rahmatan lil ‘alamin. Pada masa itu Muslim Andalusia memberikan kebebasan beragama serta menjujung tinggi keadilan dan perdamaian. Hal tersebut bertolak belakang dengan penguasa sebelumnya yang sangat kejam, tidak adil, dan tidak toleran terhadap penganut agama selain kristen. Oleh karena itu, Islam mudah diterima dan disenangi oleh penduduk Andalusia.
2.      Dengan masuknya Islam, Andalusia bertransformasi menjadi negeri yang kuat dan maju. Selama itu, umat Islam mengalami kemajuan di berbagai bidang diantaranya di bidang ilmu pengetahuan dan pembangunan. Hal tersebut menyebabkan Andalusia dipandang sebagai kiblat kemajuan bagi kerajaan-kerajaan di Eropa.
3.      Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Pribahasa tersebut menunjukkan persatuan merupakan hal yang amat penting dalam kehidupan. Hal tersebut tercermin dalam penyebab keruntuhan Andalusia. Pada masa itu, para bangsawan saling berselisih memperebutkan kekuasaan, yang menyebabkan melemahnya kekuatan umat Islam. Hal tersebut di manfaatkan oleh penguasa Kristen untuk merebut Andalusia. Oleh karena itu, kita harus menjunjung tinggi persatuan dan tidak mudah tergoyahkan oleh hasutan-hasutan yang memicu perpecahan.
3.2 Saran
Belajar mengenai sejarah merupakan sesuatu yang harus kita lakukan. Dengan belajar sejarah kita dapat mengambil pelajaran dan membangun kehidupan yang lebih baik di masa mendatang. Dari uraian di atas, kita dapat mengambil pelajaran untuk memiliki semangat dalam belajar agar dapat meraih kemajuan di bidang keilmuan seperti pada masa Islam di Andalusia. Selain itu, kita sebagai umat Islam harus tetap menjaga persatuan agar dapat bertahan apabila kita diserang oleh pihak-pihak lain.

DAFTAR PUSTAKA
Yatim, Badri. 2014. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT. Gravindo Persada
Tohir, Muhammad. 1981. Sejarah Islam dari Andalus sampai Indus. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya
Mursi, Syaikh Muhammad Sa’id. 2012. Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar
Anonim, “Thariq bin Ziyad”, Wikipedia, diakses dari http://id.m.wikipedia.org/wiki/Thariq_bin_Ziyad pada tanggal 9 September 2016

Anonim, “Basque”, Wikipedia, diakses dari http://id.m.wikipedia.org/wiki/Basque  pada tanggal 9 September 2016
Mas'ud Suherman, “Makalah Sejarah Peradaban Islam: Islam di Andalusia”, Ibnu Mas'ud an Nautor, diakses dari http://ibnusuherman.blogspot.co.id/2015/02/makalah-sejarah-peradaban-islam-islam.html  pada tanggal 16 September 2016






[1] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT. Gravindo Persada, 2014, cetakan 25), hlm. 88.
[2] Julian adalah penguasa Ceuta yang menandatangani perjanjian damai dengan Kekhalifahan Umayyah melalui Musa bin Nusair. Julian dendam kepada raja Goth karena sudah mencemarkan nama baiknya dengan menghamili putri putrinya Florinda akibat menolak untuk dinikahi. Anonim, “Thariq bin Ziyad”, Wikipedia, diakses dari http://id.m.wikipedia.org/wiki/Thariq_bin_Ziyad pada tanggal 9 September 2016
[3] Muhammad Tohir, Sejarah Islam dari Andalus sampai Indus, (Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 1981, cetakan 1), hlm. 259.
[4] Muhammad Tohir, Sejarah Islam dari Andalus sampai Indus, (Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 1981, cetakan 1), hlm. 259.
[5] Muhammad Tohir, Sejarah Islam dari Andalus sampai Indus, (Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 1981, cetakan 1), hlm. 260.
[6] Basque adalah sebuah etnik yang berada di timur laut Spanyol dan barat laut Perancis.  Anonim, “Basque”, Wikipedia, diakses dari http://id.m.wikipedia.org/wiki/Basque  pada tanggal 9 September 2016
[7] Anonim, “Thariq bin Ziyad”, Wikipedia, diakses dari http://id.m.wikipedia.org/wiki/Thariq_bin_Ziyad pada tanggal 9 September 2016
[8] Muhammad Tohir, Sejarah Islam dari Andalus sampai Indus, (Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 1981, cetakan 1), hlm. 269.
[9] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT. Gravindo Persada, 2014, cetakan 25), hlm. 95.
[10] Ferdinand adalah raja Castilla yang menikahi Isabella dari Aragon untuk mempersatukan Kristen di Andalusia Mas'ud Suherman, “Makalah Sejarah Peradaban Islam: Islam di Andalusia”, Ibnu Mas'ud an Nautor, diakses dari http://ibnusuherman.blogspot.co.id/2015/02/makalah-sejarah-peradaban-islam-islam.html  pada tanggal 16 September 2016

[11] Syam pada zaman sekarang meliputi wilayah Syiria, Yordania, Libanon, dan Palestina. Muhammad Tohir, Sejarah Islam dari Andalus sampai Indus, (Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 1981, cetakan 1), hlm. 376.
[12] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT. Gravindo Persada, 2014, cetakan 25), hlm. 107.

Unknown

Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

0 komentar:

Posting Komentar