BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Secara
geografis Cordova terletak di Provinsi Andalusia, sebelah Barat Spanyol. Kota bersejarah itu bertengger
di sepanjang tebing sungai Guadalquivir. Kota tersebut pada
awalnya bernama Iberi Bath yang dibangun pada masa pemerintahan Romawi di
Guadalquivir. Sejarah Cordova datang ke wilayah itu pada tahun 711 M atau 93 H dan berada di
bawah komando Thariq bin Ziyad, tentara Islam yang berhasil menaklukan Spanyol
dari Goth Barat di bawah kekaisaran Visigoth. Tharif bin Malik dan Musa bin Nusair juga
merupakan pahlawan legendaris penakluk Andalusia.
Kemajuan peradaban manusia
tak lepas dari campur tangan Islam. Ini dibuktikan dengan kemajuan ilmu
pengetahuan, berdiri tegaknya istana-istana, dan hadirnya jalanan yang
diterangi oleh lentera di daerah yang dulunya bernama Vandal dan kemudian
disebut sebagai Andalusia oleh Bangsa Arab. Kejayaan itu terjadi tepatnya pada
masa pemerintahan Abdurrahman III yang bergelar An-Nashir. Dia mendirikan
Universitas Cordova yang perpustakaannya memiliki ratusan ribu koleksi buku.
Orang-orang dari Barat banyak yang menimbah ilmu ke Andalusia. Dari sinilah
terlahir ilmuwan-ilmuwan yang berintelektual tinggi.
Melihat begitu jayanya Islam
di Andalusia pada masa itu, tidak ada alasan bagi kita untuk tidak mempelajari
faktor apa yang menyebabkan Islam maju pesat, baik di bidang ilmu pengetahuan
maupun dalam pembangunan arsitektur yang megah dan kokoh berdiri di atas tanah
yang sekarang kita kenal sebagai Spanyol. H.A.R. Gibb dalam bukunya Whitter
Islam menyatakan, “Islam sesungguhnya lebih dari sekedar sebuah agama, ia
adalah sebuah peradaban yang sempurna”.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana proses masuknya
Islam ke Andalusia?
2.
Bagaimana kondisi politik
dan sosial pasca masuknya Islam ke Andalusia?
3.
Bagaimana masa kejayaan
Islam di Andalusia?
4.
Apa faktor jatuhnya Islam di
Andalusia?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Proses Masuknya
Islam ke Andalusia
Islam berhasil menguasai Andalusia pada masa Khalifah
Al-Walid (705-715 M.). Keberhasilan ini bermula pasca jatuhnya Afrika Utara ke
Dinasti Umayyah menyebabkan kekhawatiran kaum muslimin terhadap kemungkinan
terjadinya serangan tentara Goth dan pasukan Eropa lainnya mengingat mereka
dipisahkan oleh sebuah selat saja. Bukan hanya itu, kondisi politik Kerajaan
Gothic saat itu sedang tidak stabil karena terjadi perebutan kekuasaan.
Ketidaktoleransian penguasa Gothic terhadap agama selain Kristen mengingat
banyaknya kaum Yahudi yang tinggal di sana tak luput dari sebab kekhawatiran
kaum muslimin sendiri. Berdasarkan semangat kuat kaum muslimin menyebabkan
mereka semakin termotivasi untuk menaklukkan bumi Andalusia.
Di balik penaklukan Andalusia, terdapat tiga sosok yang mempunyai semangat juang
tinggi untuk memperluas wilayah kekuasaan Islam. Mereka adalah Tharif bin
Malik, Musa bin Nushair, dan Thariq bin Ziyad. Tharif bin Malik berperan
sebagai perintis dan penyelidik, sementara itu Musa bin Nushair dan Thariq bin Ziyad bisa dikatakan
sebagai penakluk karena hasilnya yang lebih besar.
2.1.1 Tharif bin Malik Sebagai Perintis
Penaklukan
islam di Andalusia diawali ketika Tharif bin Malik bersama lima ratus[1] pasukannya menyeberangi selat yang berada diantara
Maroko dan Benua Eropa menggunakan empat buah perahu yang disediakan oleh
Julian[2]. Tidak hanya itu, Julian juga ikut serta dalam
pasukan Tharif dan banyak membantu dalam proses penaklukan pasukan Goth yang
ada di pantai Tarifa dengan menunjukkan kelemahan-kelemahan pasukan Goth.
Setelah meraih kemenangan, Tharif kembali ke Tanjah dengan membawa
informasi-informasi yang jauh lebih penting daripada ghanimah yang
diperolehnya pada tahun 710 M/91 H.
2.1.2 Penaklukan
Andalusia oleh Thariq bin Ziyad
Pada tahun 711 M.,
Musa bin Nushair mempersiapkan tujuh ribu pasukan muslimin yang dipimpin oleh
Thariq bin Ziyad. Pada tanggal 5 Rajab 92 H/18 April 711 M pasukan Thariq bin
Ziyad tiba di kepala semenanjung Andalus bagian selatan yaitu sebuah tempat
yang dikenal dengan nama Jabal Thariq (Gibraltar). Setelah pendaratan, Thariq
memerintahkan untuk membakar habis semua perahu yang digunakannya, kemudian ia
naik ke sebuah bukit dan berpidato, “Kita sekarang berada antara dua pilihan
menang atau mati. Di belakang kita terbentang sebuah lautan, sedangkan di
hadapan kita lawan sudah menghunus pedang. Tiada lagi jalan mundur. Barangsiapa
lapar ambillah makanan yang telah tersedia di tangan lawan dan barangsiapa
memerlukan senjata, ambillah dari tangan lawan.” Setelah membacakan ayat-ayat
suci Al-Quran, Thariq lalu mengajak semua pasukannya untuk berdoa memohon
inayah ilahi.[3]
Sebelum Thariq
bertolak ke Andalus, Musa bin Nushair
berpesan supaya Thariq segera kembali ke Tanjah apabila ia telah berhasil
memenangkan pertempuran melawan pasukan Gothic di Andalus. Jika disebabkan oleh
sesuatu hal Thariq tidak segera kembali, ia harus tetap berada di daerah yang
direbutnya sampai datangnya perintah lebih lanjut dari Musa bin Nushair. Di
samping itu, Musa bin Nushair juga memerintahkan supaya Thariq mengikutsertakan
Julian dalam gerakan-gerakan militernya.[4]
Di Andalusia, kota yang pertama
ditaklukan Thariq adalah Kota Cartagena yang
terletak di sebelah utara Jabal At-Thariq. Setelah berhasil ditaklukan, kota
itu sempat berganti nama menjadi Qartayannat al-Halfa. Dari Kota
Cartagena Thariq menuju ke Kota Algeciras. Sumber yang lain[5] mengatakan bahwa
Thariq mengubah arah tujuan menuju ke arah barat menyelusuri daerah dekat
telaga di perbatasan Kota Logo atas saran dari Julian. Pada masa itu Raja
Rodherick yang sedang berperang dengan Basque[6] segera kembali ke
Cordoba. Di sana ia segera menyusun strategi dan berhasil mengumpulkan seratus
ribu prajurit untuk menghadang pasukan Thariq. Mengetahui pasukannya hanya
berjumlah tujuh ribu orang Thariq meminta tambahan pasukan kepada Musa bin
Nusair di Tanjah. Mendengar permintaan Thariq, Musa kemudian mengirimkan lima
ribu pasukan untuk bergabung dengan pasukan Thariq. Setelah melalui pertempuran
yang sengit, Raja Rodherick kalah dan terbunuh kemudian pertempuran ini dikenal
sebagai pertempuran Guadalete.
Pertempuran
Guadalete akhirnya dimenangkan oleh kaum muslim. Thariq bin Ziyad melanjutkan
penaklukannya meliputi Sidonia, Carmona, Alcala de Guadaira, Guadalaraja, dan
Ecija. Sebelum melanjutkan penaklukannya, Thariq teringat pesan Musa bin Nusair
untuk segera kembali ke Afrika Utara pasca mengalahkan pasukan Goth. Namun,
apabila pesan tersebut dilaksanakan, Thariq khawatir pasukan Goth akan
melancarkan serangan balasan. Berdasarkan pertimbangan tersebut, Thariq
melanjutkan penaklukannya meliputi Cordoba, Granada, Almunecar, ibukota
Kerajaan Gothic Toledo, dan yang terakhir kota kecil di dekat Toledo yang
bernama Medinat Al-Maida.
2.1.3 Penaklukan Andalusia oleh Musa bin Nushair
Berita kemenangan
Thariq bin Ziyad terdengar hingga telinga Musa bin Nusair. Ia menunjuk anak
bungsunya, Abdullah bin Musa, sebagai penguasa Afrika Utara kemudian berangkat
menuju Andalus dengan delapan belas ribu pasukan[7] (menurut sumber
lain sepuluh ribu)[8]. Musa bin Nusair
tiba di Andalus pada bulan Ramadhan 93 H/Juni 712 M. Dalam menaklukannya Musa
menempuh jalan yang tidak dilalui oleh Thariq meliputi kota Seville, Niebla,
Faro, Beja,
Malaga, Evora,
Jaen, Sagunto, Murcia, Merida, dan Talavera.
Di Talavera, Musa bin Nusair bertemu dengan Thariq bin
Ziyad. Hampir semua penulis sejarah mencatat pertemuan antara Musa dan Thariq
kurang begitu bersahabat. Musa bin Nusair merasa tidak senang karena Thariq
tidak mengikuti pesannya untuk segera kembali ke Afrika Utara paska mengalahkan
pasukan Goth. Thariq yang menyadari
kemarahan Musa segera meminta maaf dan menjelaskan alasan ia melanjutkan
penaklukannya. Permintaan maaf tersebut diterima oleh Musa meskipun pada akhirnya
pada tahun yang sama (93H) Musa memecat Thariq dari jabatan panglima Muslimin
di Andalusia. Dengan ini, Musa bin Nusair menjabat sebagai panglima tertinggi
di Afrika Utara dan Andalusia.
Pasca pertemuan tersebut, Musa dan Thariq
menggabungkan pasukan dan berhasil membebaskan Zaragoza. Di kota ini, Musa
mendirikan masjid besar Sarakusta yang sekarang telah berubah menjadi Katedral
La Seo. Dari Zaragoza, pasukan muslimin melanjutkan pembebasannya meliputi
Burgos, Coimbra, Santarem, Mertola, Salamanca, Valencia, Valladolid, Barcelona,
Leon, Astorga, Oviedo, dan Gijon. Dengan keberhasilan tersebut, kekuasaan
Dinasti Umayyah telah tersebar luas hingga Andalusia yang kelak menjadi peradaban
paling berpengaruh bagi bangsa-bangsa
eropa bahkan dunia.
2.2 Kondisi Politik dan Sosial paska masuknya Islam ke
Andalusia
2.2.1 Kondisi Politik
Islam menguasai Andalusia selama Tujuh setengah abad. Dalam waktu yang
tidak sebentar itu, Islam banyak menorehkan prestasi gemilang di Andalusia.
Sejarah panjang Islam di Andalusia terbagi menjadi enam periode, yaitu:
1. Periode Pertama (711-755 M)
Pada periode ini, Spanyol
berada di bawah pemerintahan wali yang diangkat oleh Khalifah Bani Umayyah yang berpusat di
Damaskus. Stabilitas politik pada periode ini belum tercapai secara sempurna.
Banyak gangguan yang dating silih berganti, baik dari dalam maupun dari luar.
Gangguan dari dalam dipicu oleh perselisihan di antara elit penguasa, terutama
perbedaan etnis dan golongan. Di samping itu terdapat perbedaan pandangan
antara khalifah di Damaskus dan gubernur Afrika Utara yang berpusat di
Kairawan. Gangguan dari luar datang dari sisa-sisa musuh Islam di Andalusia
yang bertempat tinggal di daerah pegunungan yang memang tidak pernah tunduk
kepada pemerintahan Islam. Karena sering terjadi konflik, baik dari dalam
maupun dari luar, pada periode ini belum ada pembangunan di bidang peradaban
dan kebudayaan.
2.
Periode Kedua (755-912 M)
Pada periode ini,
pemerintahan Andalusia dipimin oleh seorang amir (panglima atau gubernur)
tetapi tidak tunduk pada pusat pemerintahan Islam yang ketika itu dipegang oleh
khalifah Abbasiyah di Baghdad. Amir yang pertama adalah Abdurrahman I yang
bergelar Ad-Dakhil (yang masuk ke Andalusia). Abdurrahman Ad-Dakhil merupakan
orang yang berhasil lolos dari kejaran Bani Abbas dan berhasil mendirikan
dinasti Bani Umayyah di Andalusia. Penguasa-penguasa Spanyol pada periode ini
adalah Abdurrahman Ad-Dakhil, Hisyam I, Hakam I, Abdurrahman Al-Ausath,
Muhammad bin Abdurrahman, Munzir bin Muhammad, dan Abdullah bin Muhammad.
Umat Islam meraih
kemajuan-kemajuan di bidang politik maupun peradaban di periode ini.
Abdurrahman Ad-Dakhil mendirikan masjid Cordova dan sekolah-sekolah di
kota-kota besar yang berada di Andalusia. Hisyam dikenal sebagai berjasa dalam
menegakkan hukum Islam dan Hakam dikenal sebagai pembaharu di bidang
kemiliteran, seperti memprakarsai tentara bayaran di Andalusia. Abdurrahman
Al-Ausath dikenal sebagai penguasa yang cinta ilmu, terutama tentang pemikiran
filsafat.
Pada pertengahan abad ke-9,
kerusuhan mulai terlihat dengan munculnya gerakan Kristen fanatik yang mencari
kesyahidan (Martyrdom).[9] Namun, gereja Kristen
lainnya tidak ada yang bersimpati dengan gerakan itu, dikarenakan pemerintah
Islam menerapkan kebebasan beragama. Gangguan politik yang sangat berpengaruh
adalah dari golongan umat muslim sendiri. Golongan pemberontak di Toledo pada tahun
852 M membentuk negara kota yang berlangsung selama 80 tahun. Ada juga
pemberontakan yang dipimpin oleh Hafshun dan anaknya yang berpusat di
pegunungan dekat Malaga. Perselihan antara orang Arab dan Barbar juga masih
sering terjadi.
3.
Periode Ketiga (912-1023 M)
Pada periode ini, Andalusia
dipimpin oleh seorang penguasa yang bergelar khalifah. Penggunaan gelar khalifah ini bermula dari berita
yang sampai kepada Abdurrahaman III, bahwa Al-Muktadir, khalifah daulat Bani
Abbas di Baghdad meninggal dunia karena dibunuh pengawalnya sendiri. Menurut
penilaiannya, keadaan ini merupakan kesempatan yang paling tepat untuk memakai
gelar khalifah. Karena itulah, gelar khalifah mulai dipakai tahun 929 M.
Khalifah besar yang memimpin Andalusia diantaranya adalah Abdurrahman An-Nashir
(912-961 M), Hakam II (961-976 M), dan Hisyam II (976-1009 M). Di periode ini umat Islam di
Andalusia mencapai puncak kejayaan. Abdurrahman An-Nashir mendirikan
Universitas Cordova. Hakam II yang seorang kolektor buku mendirikan
perpustakaan. Pembangunan kota juga sangat pesat. Pada masa emas ini masyarakat
merasakan kesejahteraan dan kemakmuran.
Namun pada tahun 1008 M, kekhalifahan ini mengalami
kemunduran ketika wafatnya khalifah Al-Muzaffar dan digantikan oleh
adiknya yang tidak memiliki kualitas sebagai khalifah. Dalam beberapa tahun
saja, negara yang tadinya makmur dilanda kekacauaan dan mengalami kehancuran
total. Akhirnya pada tahun 1013 M, Dewan Menteri yang memerintah Cordova
menghapuskan jabatan khalifah.
Ketika itu, Spanyol sudah terpecah dalam banyak negara kecil yang berpusat di
kota-kota tertentu.
4.
Periode Keempat (1013-1086 M)
Pada periode ini, Andalusia terpecah
menjadi lebih dari tiga puluh negara kecil di bawah pemerintahan raja-raja atau
golongan (Al-Mulukuth-Thawaif), yang berpusat di suatu kota seperti Cordova,
Seville, Toledo, dan lain-lain. Negara terbesar pada masa itu adalah Abbadiyah
di Seville. Pada periode ini, muslim Andalusia kembali memasuki masa pertikaian
internal, apabila
terjadi perang saudara, selalu ada pihak yang meminta bantuan kepada kerajaan
Kristen. Melihat keadaan Islam yang terpecah belah, orang-orang kristen pada
masa ini mulai mengambil inisiatif penyerangan. Meskipun tidak sampai
meruntuhkan kekuasaan Islam di Andalusia.
5.
Periode Kelima (1086-1248 M)
Pada periode ini, Islam di Andalusia tetap
terpecah dalam beberapa negara, dan kekuasaan yang paling dominan adalah
dinasti Murabithun (1086-1143 M) dan dinasti Muwahhidun (1146-1235
M). Dinasti Murabithun pada awalnya adalah gerakan agama yang didirikan oleh
Yusuf bin Tasyif di Afrika Utara yang berhasil mendirikan sebuah kerajaan yang
berpusat di Marakesy pada tahun 1062 M. Yusuf ibn Tasyif masuk ke Andalusia
atas undangan penguasa-penguasa Islam di sana, untuk membantu mempertahankan
negeri-negerinya dari serangan orang-orang Kristen. Yusuf dan tentaranya
memasuki Andalusia pada tahun 1086 M dan berhasil mengalahkan tentara Castilia.
Memanfaatkan perpecahan raja-raja muslim, ia berhasil memperluas dinasti
Murabithun hingga Andalusia. Namun pada akhirnya, dinasti ini mengalami
kemunduran dan Zaragoza jatuh ke tangan kristen pada tahun 1118 M. Kemudian
dinasti ini benar-benar runtuh pada 1143 M dan digantikan oleh dinasti
Murabithun.
Selama tiga tahun paska runtuhnya dinasti Murabithun, umat Islam di Andalusia kembali
terpecah menjadi dinasti-dinasti kecil. Namun pada tahun 1146 M, penguasa
dinasti Muwahhidun yang berpusat di Afrika Utara berhasil merebut kembali
Andalusia. Kota-kota penting seperti Cordova, Almeria, dan Granada berhasil
dikuasai oleh dinasti Muwahhidun. Untuk beberapa dekade, dinasti ini mengalami
banyak kemajuan dan kekuatan kerajaan Kristen dapat dipukul mundur. Akan tetapi, pada akhirnya
dinasti Muwahhidun mengalami kemunduran. Pada tahun
1212 M, tentara Kristen berhasil memperoleh kemenangan besar di pertempuran Las
Navas de Tolesa. Kemudian diikuti dengan kekalahan-kekalahan yang lain sehingga
penguasanya memilih untuk mundur ke Afrika Utara pada tahun 1235 M. Kekalahan
dinasti Muwahhidun membuat muslim Andalusia kembali terpecah menjadi
kerajaan-kerajaan kecil. Dalam kondisi demikian, kerajaan Kristen berhasil
merebut seluruh Andalusia kecuali Granada.
6.
Periode Keenam (1248-1492 M)
Pada periode ini kekuasaan Islam hanya
tersisa di daerah Granada, di bawah dinasti Bani Ahmar (1232-1492 M). Selama
itu, Islam kembali mengalami kemajuan meskipun hanya memiliki wilayah yang
kecil. Kerajaan ini mengalami keruntuhan akibat perselisihan orang-orang istana
dalam memperebutkan kekuasaan. Perselisihan ini diawali ketika Abu Abdullah
Muhammad merasa tidak senang kepada ayahnya karena tidak menunjuk dirinya
sebagai raja, dan malah memilih saudaranya yang lain. Abu Abdullah kemudian
memberontak dan berusaha melakukan kudeta. Dalam kudeta tersebut, ayahnya
terbunuh dan digantikan oleh Muhammad bin Sa’ad. Abu
Abdullah kemudian meminta bantuan kepada Ferdinand dan Isabella[10] untuk
menjatuhkan Muhammad bin Sa’ad.
Dengan bantuan Ferdinand dan Isabella, Abu Abdullah berhasil menjatuhkan Muhammad bin Sa’ad dan kemudian Abu Abdullah naik
tahta. Namun Ferdinand dan Isabella memiliki alasan tersembunyi dalam membantu
Abu Abdullah. Mereka ingin memanfaatkan situasi politik Bani Ahmar yang lemah
untuk merebut Granada. Pada akhirnya, dengan pada tahun 1492 M, Ferdinand dan
Isabella berhasil mengalahkan Abu Muhammad dan menguasai Granada. Umat Islam pada saat
itu dihadapkan pada dua pilihan, yakni masuk Kristen atau meninggalkan
Andalusia. Pada tahun 1609 M, boleh dikatakan tidak ada lagi umat Islam di
daerah ini.
2.2.2 Kondisi Sosial
1.
Penduduk
Andalus Sebelum Kedatangan Islam
Penduduk
Andalusia sebelum ditaklukan oleh dinasti Umayyah terdiri dari orang Goth,
Romawi, Italia, dan Yahudi. Orang Goth adalah golongan yang berkuasa, banyak
dari mereka bergelar Raja, kaum bangsawan, dan tuan tanah besar. Kebanyakan
dari mereka saat itu memeluk agama Nasrani madzhab Katholik. Namun sebagian
kecil dari mereka menganut madzhab Arius. Semua golongan penduduk tersebut
bermukim di kota-kota besar seperti Toledo, Sevilla, Merida, dan Cordoba. Untuk
orang romawi kebanyakan berkmukim di daerah-daerah pantai timur dan tenggara
semenanjung Iberia. Tetapi sebagian lagi bermukim di kota-kota.
Mayoritas
penduduk di Andalusia terdiri dari orang Spanyol yang berasal dari ras campuran
akibat gelombang pembauran manusia. Namun ras tersebut didominasi unsur ras
Katalan, oleh karena itu mereka pada umumnya disebut orang Iberia. Mereka
didominasi kaum petani dan pekerja tangan yang selalu menjadi sasaran para
penguasa dan antek-anteknya.
Lain
lagi untuk orang Yahudi. Mereka adalah orang perantauan di Iberia. Mereka tidak
mempunyai hubungan ras dengan penduduk setempat serta agama mereka pun berbeda.
Meskipun demikian, mereka berhasil menguasai ekonomi dengan cara memberikan pijaman
dalam jumlah besar kepada kalangan bangsawan dan tuan tanah feodal. Salain itu,
mereka melakukan pemerasan terhadap golongan lemah serta bekerja sebagai
pelepas uang riba dan melakukan perdagangan budak.
2.
Penduduk
Andalus Setelah Kedatangan Islam
Pada masa
pemerintahan Islam, Andalusia semakin kaya akan keberagaman ras. Hal tersebut
disebabkan para penakluk Andalusia berasal dari berbagai daerah Arab. Mereka
datang membawa sisa-sisa penyakit sosial jahiliyyah diantaranya kekeluargaan,
sekuisme, kabilahisme, daerahisme, dan fanatinisme yang berlebihan. Karenanya
penduduk Andalusia semakin terbagi-bagi berdasarkan keagamaan, jenis bangsa,
dan susunan masyarakat. Kelompok-kelompok meliputi orang Arab Andalusia, orang
Barbar Andalusia, orang peranakan, orang Nasrani, orang Dzimmi, orang Yahudi,
dan orang Kafir.
a.
Orang
Arab Andalusia
Orang Arab di Andalusia terbagi menjadi
dua golongan besar dan saling berseteru, yakni orang Qeis yang berasal dari
Syam[11]
dengan orang yang berasal dari Yaman. Dari kedua golongan tersebut ada sebagian
yang diberi nama “Ahlul Balad”. Ahlul Balad ialah orang Arab yang datang pada
gelombang-gelombang pertama penaklukan bersama Thariq bin Ziyad dan Musa bin
Nushair.
Kebanyakan orang Arab bermukim di daerah dekat pantai timur dan tenggara
Andalus karena iklimnya mendekati iklim negeri asalnya. Namun ada sebagian
kecil yang bermukim di daerah sebelah utara dan selatan.
b.
Orang
Barbar Andalusia
Setelah penaklukan Afrika Utara dan Maroko
tuntas, sebagian besar penduduk mereka memeluk agama Islam. Kebanyakan dari
mereka juga ikut serta dalam penaklukan Andalusia, sehingga orang Barbar ikut mendiami Andalusia. Sama
dengan orang Arab, orang Barbar juga terbagi menjadi dua golongan
besar, yaitu golongan Butr dan golongan Brens. Namun kedua golongan tersebut
tidak pernah terjadi pertikaian. Orang Barbar kebanyakan tinggal di dataran
tinggi dan pegunungan Andalusia yang kebanyakan terletak di daerah
pedalaman-pedalaman dan Andalusia bagian Barat.
c.
Orang
Peranakan
Di Andalusia, orang peranakan atau muwalladun diartikan keturunan orang
Spanyol yang memeluk Islam.
Sedangkan untuk orang tua mereka yang memeluk Islam pada waktu penaklukan disebut Musalamah
atau kadang Musalamin. Jadi, sebutan Muwalladun diberikan kepada orang- orang yang dilahirkan oleh keluarga Musalamin.
d. Orang Nasrani
Sebutan orang
Nasrani pada masa itu dikenakan orang Arab di Andalusia kepada orang-orang yang
bermukim di daerah-daerah di luar kekuasaan Islam, dan orang-orang yang awalnya
berada di bawah pemerintahan Islam namun menyatakan keluar atau berontak.
Sebutan Nasrani tidak berdasarkan ras, namun karena rata-rata mereka memeluk
agama Nasrani.
e. Orang Dzimmi
Dzimmi berasal
dari kata dzimmah, artinya tanggungan. Orang dzimmi merupakan istilah kepada
orang Yahudi atau Nasrani yang bersedia hidup di bawah pemerintahan Islam
dengan syarat-syarat tertentu. Mereka dilindungi, ditanggung, dan dijamin
keselamatan dirinya, keluarganya, dan hartanya. Mereka juga mendapat kelonggaran
melakukan ibadah menurut agamanya masing-masing.
f. Orang Yahudi
Pada Umumnya,
orang Yahudi berstatus sama dengan orang Nasrani, hanya saja kebanyakan orang
Yahudi memperoleh kedudukan lebih baik. Hal tersebut desebabkan besarnya
bantuan bangsa Yahudi kepada kaum Muslimin pada saat penaklukan. Mereka
kebanyakan bermukim di kota-kota besar di Andalusia.
g. Orang kafir
Sebutan orang
kafir di Andalusia ditujukan kepada mereka yang masih menyembah berhala. Mereka
tidak mendapat hak-hak yang bisa dinikmati oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani.
2.3 Masa Kejayaan Islam di Andalusia
Masuk dan berkembangannya Islam di Cordova itu
berlangsung dari tahun 711-912 M. Dari
tahun 912-976 M, peradaban di Cordova mulai meningkat. As-Samah
bin Malik Al-Khaulani adalah seorang
tokoh yang membangun dan mengembangkan Cordova hingga menjadi sebuah kota terbesar di Eropa. Pada
pemerintahan Abdurrahman Ad-Dakhil atau
Abdurrahman I, Cordoba menjadi pusat perkembangan ilmu pengetahuan, kesenian, dan
kesusasteraan di Benua Eropa.
Pada masa kejayaan Cordoba di bawah pemerintahan Islam mulai
berlangsung pada pemerintahan Khalifah
Abdurrahman An-Nasir dan pada zaman pemerintahan anaknya yaitu Al-Hakam. Pada masa itu
Cordoba telah mencapai masa kejayaannya, hingga mencapai kekayaan dan kemewahan
yang belum pernah dicapai sebelumnya. Tak heran, pada waktu itu
Cordoba mampu mensejajarkan diri dengan Baghdad. Tak hanya itu,
Cordoba juga mampu setaraf dengan
Constantinople, ibukota Bezantium sera Kaherah, ibukota kerajaan Fatimiah.
Pada masa kejayaannya itu, Cordoba mengalami kemajuan yang sangat pesat dalam bidang
pendidikan, ilmu pengetahuan dan intelektual. Pada masa pamerintahan
Abdurrahman III, berdirilah Universitas Cordoba yang
sangat terkenal. Dari Universitas inilah Barat menyerap
ilmu pengetahuan. Pendidikan di Cordoba semakin
bersinar pada masa pemerintahan Al-Hakam Al-Muntasir dan diberi gelar Khalifah yang sangat alim.
Dan pada masa pemerintahan nya itu berdirilah sekolah swasta sebanyak 27
sekolah. 70 gedung perpustakaan untuk menambah semaraknya perkembangan ilmu, pengunjungnya bisa mencapai 400 ribu pengunjung. Pada saat itu
terdapat 170 wanita yang berprofesi sebagai penulis Al-Qur’an dengan
menggunakan huruf Kufi yang sangat indah. Dan
anak-anak fakir miskin pun bisa belajar secara gratis di 80 sekolah yang telah
di sediakan oleh Khalifah.
Cordova dihiasi oleh Istana Az-Zahra yang sangat indah, Istana Damsik, Istana Al-Gazar, Menara Girilda
yang bertempat di Granada. Kota ini didirikan oleh Khalifah
Abdurrahman III dan dilanjutkan oleh Khalifah Al-Hakam II. Medina Az-Zahra awalnya diperuntukan
sebagai pusat pemerintahan Andalusia yang letaknya 5 km dari kota Cordova. Zia Pasya
seorang sejarawan dari Turki melukiskan
keindahan istana itu. Pada masa itu, di Cordova terdapat 283
unit rumah tinggal, 900 kamar mandi umum, 800 unit sekolah, dan 50 unit rumah sakit. Pada masa pemerintahan Abdurrahman III, Abdurrahman
III telah menciptakan kedamaian, kesejahteraan bagi rayatnya. Masa kejayaan itu
hanya bertahan selama 320 tahun.
2.3.1 Tokoh-Tokoh yang Berperan di Andalusia
Kemajuan pesat yang terjadi
di Andalusia merupakan hasil pengorbanan dari sosok-sosok legendaris. Bukan
hanya para penakluk Andalusia saja, tapi juga para ilmuwan yang terlahir dari
Andalusia, mereka semua sangat berjasa dalam masa keemasan Andalusia.
1. Tokoh-Tokoh Penakluk Andalusia
Berikut adalah nama-nama penakluk Andalusia:
a.
Musa
bin Nushair
Beliau
mempunyai nama lengkap Musa bin Nushair bin Abdurrahman bin Zaid Al Lahmi.
Lahir di Damaskus, pada tahun 19 H. Ayahnya adalah seorang komandan pengawal
pribadi khalifah Muawiyah. Pada masa khalifah Abdul Aziz bin Marwan, Musa bin
Nushair ikut dalam peperangan penaklukan Afrika. Pada tahun 33 H, khalifah
Walid bin Abdul Malik mengangkat Musa bin Nushair menjadi gubernur Afrika
bagian Utara dan sekitarnya. Musa bin Nushair adalah seorang yang pemberani,
cerdas, dermawan, sangat bertakwa, berwibawa dan berpendirian kuat. Beliau
wafat di daerah lembah Qura’ di Hijaz pada tahun 97 H.
b. Thariq bin Ziyad
Pendekar
Islam Andalusia ini mempunyai nama lengkap Thariq bin Ziyad Al Laitsi. Lahir
sekitar tahun 50 H/670 M. Dia orang Barbar yang berasal dari shudfah yang
berdomisili di pegunungan Maroko. Thariq bin Ziyad adalah ahli penunggang kuda,
sangat pemberani, dan badannya sangat kuat. Thariq bin Ziyad berhasil
menaklukan Andalusia pada tahun 711 M.
Beliau wafat pada tahun 720 M.
2.
Tokoh-Tokoh
Ilmu Pengetahuan
Berkembangnya ilmu pengetahuan di Codova pada masa kejayaan
Islam telah melahirkan sejumlah ilmuan dan ulama termasyhur. Cordova merupakan pusat
intelektual di Eropa dengan perguruan-perguruan
yang
sangat terkenal dalam bidang kedokteran, matematika,
filsafat,
kesusasteraan
dan bahkan juga musik. Diantara para ilmuan yang muncul pada masa kejayaan
Islam di Cordova antara lain:
1. Ibnu Rusydi: Abul
Al-Walid Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Rusydi, ia adalah seorang
filosof yang telah berjasa mengintegrasikan Islam dengan tradisi pemikiraan
Yunani.
2.
Ibnu
Hazmi: Seorang Ulama yang mujtahid. Ia telah menulis kitab Al-Muhalla.
3.
Al-Qurtubi:
Seorang
ahli tafsir. Ia telah menulis tafsir Al-Qurtubi.
4.
Az-Zahrawi:
Seorang
dokter alhi bedah. Dan ia telah memperkenalkan kejururawatan dan manciptakan
alat pembedahan dan teknik teknik terbaru bedah luar dan dalam.
5.
Ibnu
Tufail: Seorang filusuf dan tabib yang hidup sekitar tahun 1100-1185 M.
2.4 Faktor Jatuhnya Islam di Andalusia
Dalam kurun waktu sekitar
7 abad, Islam telah mengibarkan benderanya di Andalusia. Selama periode itu
Islam di Andalusia mengalami pasang surut kejayaan. Namun, tidak bisa
dipungkiri banyak sekali prestasi-prestasi yang ditorehkan oleh kaum Muslimin
Andalusia. Sayangnya, kejayaan itu harus berakhir setelah khalifah terakhir
Bani Ahmar bertekuk lutut pada Ferdinand dan Isabella pada tahun 1492. Dari hal
tersebut, dapat kita pelajari penyebab kemunduran dan kehancuran Islam di Andalusia
adalah sebagai berikut[12]
:
1.
Konflik
Islam dengan Kristen
Para
penguasa Muslim tidak melakukan Islamisasi secara sempurna. Mereka sudah merasa
puas dengan hanya menagih upeti dari kerajaan-kerajaan Kristen yang
ditaklukannya dan membiarkan mereka mempertahankan hukum dan adat mereka.
Selain itu, pada abad ke-11 M umat Kristen memperoleh kemajuan pesat, sementara
umat Islam mengalami kemunduran.
2.
Tidak
Adanya Ideologi Pemersatu
Di
Andalusia, orang-orang Arab tidak pernah menerima pribumi. Setidaknya sampai
abad ke-10 M, mereka masih memberi istilah ‘ibad dan muwalladun kepada para muallaf, suatu ungkapan yang
dinilai merendahkan. Akibatnya, kelompok-kelompok etnis non-Arab yang ada
sering menggerogoti dan merusak perdamaian. Hal itu mendatangkan dampak besar
terhadap sejarah sosio-ekonomi negeri tersebut. Hal ini dikarenakan tidak adanya ideologi yang memberi makna
persatuan, disamping kurangnya figur yang dapat menjadi personifikasi ideologi
itu.
3.
Kesulitan Ekonomi
Di paruh kedua masa Islam di Andalusia, para
penguasa membangun kota dan mengembangkan ilmu pengetahuan dengan sangat
“serius”, sehingga lalai membina perekonomian. Akibatnya timbul kesulitan
ekonomi yang amat memberatkan dan mempengaruhi kondisi politik dan militer.
4.
Tidak Jelasnya Sistem Peralihan Kekuasaan
Sistem peralihan kekuasaan yang tidak jelas
menyebabkan perebutan kekuasaan diantara ahli waris. Bahkan, karena inilah
kekuasaan Bani Umayyah runtuh dan Muluk Al-Thawaif muncul. Granada yang
merupakan pusat kekuasaan Islam
terakhir di Andalusia jatuh ke tangan Ferdinand dan Isabella, diantaranya juga
disebabkan permasalahan ini.
5.
Keterpencilan
Wilayah
Andalusia bagaikan terpencil dari dunia Islam yang lain. Ia selalu berjuang
sendirian, tanpa mendapat bantuan kecuali dari Afrika Utara. Dengan demikian,
tidak ada kekuatan alternatif yang mampu membendung kebangkitan Kristen di sana.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Masuknya Islam ke Andalusia menunjukkan bahwa Islam
telah melebarkan sayapnya hingga benua Eropa. Selama tujuh abad, peradaban
Islam mengalami kemajuan yang cukup pesat baik di bidang keilmuan maupun
kebudayaan. Pada masa itu, Andalusia merupakan kiblat kejayaan bagi
kerajaan-kerajaan di Eropa. Meskipun pada akhirnya Islam di Andalusia runtuh,
banyak ibrah yang bisa kita pelajari dari masuknya Islam ke Andalusia, antara
lain sebagai berikut :
1.
Mudahnya Islam masuk dan diterima di Andalusia
menunjukkan Islam merupakan agama rahmatan lil ‘alamin. Pada masa itu Muslim Andalusia memberikan
kebebasan beragama serta menjujung tinggi keadilan dan perdamaian. Hal tersebut
bertolak belakang dengan penguasa sebelumnya yang sangat kejam, tidak adil, dan
tidak toleran terhadap penganut agama selain kristen. Oleh karena itu, Islam
mudah diterima dan disenangi oleh penduduk Andalusia.
2.
Dengan masuknya Islam, Andalusia bertransformasi
menjadi negeri yang kuat dan maju. Selama itu, umat Islam mengalami kemajuan di
berbagai bidang diantaranya di bidang ilmu pengetahuan dan pembangunan. Hal
tersebut menyebabkan Andalusia dipandang sebagai kiblat kemajuan bagi
kerajaan-kerajaan di Eropa.
3.
Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Pribahasa
tersebut menunjukkan persatuan merupakan hal yang amat penting dalam kehidupan.
Hal tersebut tercermin dalam penyebab keruntuhan Andalusia. Pada masa itu, para
bangsawan saling berselisih memperebutkan kekuasaan, yang menyebabkan
melemahnya kekuatan umat Islam. Hal tersebut di manfaatkan oleh penguasa
Kristen untuk merebut Andalusia. Oleh karena itu, kita harus menjunjung tinggi
persatuan dan tidak mudah tergoyahkan oleh hasutan-hasutan yang memicu
perpecahan.
3.2 Saran
Belajar mengenai sejarah merupakan sesuatu yang
harus kita lakukan. Dengan belajar sejarah kita dapat mengambil pelajaran dan
membangun kehidupan yang lebih baik di masa mendatang. Dari uraian di atas,
kita dapat mengambil pelajaran untuk memiliki semangat dalam belajar agar dapat
meraih kemajuan di bidang keilmuan seperti pada masa Islam di Andalusia. Selain
itu, kita sebagai umat Islam harus tetap menjaga persatuan agar dapat bertahan
apabila kita diserang oleh pihak-pihak lain.
DAFTAR PUSTAKA
Yatim, Badri. 2014. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT.
Gravindo Persada
Tohir, Muhammad.
1981. Sejarah Islam dari Andalus sampai Indus. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya
Mursi,
Syaikh Muhammad Sa’id. 2012. Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah.
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar
Anonim,
“Thariq bin Ziyad”, Wikipedia, diakses dari http://id.m.wikipedia.org/wiki/Thariq_bin_Ziyad
pada tanggal 9 September 2016
Anonim, “Basque”, Wikipedia, diakses dari http://id.m.wikipedia.org/wiki/Basque pada tanggal 9 September
2016
Mas'ud Suherman, “Makalah Sejarah Peradaban Islam: Islam di
Andalusia”, Ibnu Mas'ud an Nautor, diakses dari http://ibnusuherman.blogspot.co.id/2015/02/makalah-sejarah-peradaban-islam-islam.html pada tanggal 16 September 2016
[1] Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT. Gravindo Persada, 2014, cetakan
25), hlm. 88.
[2] Julian
adalah penguasa Ceuta yang menandatangani perjanjian damai dengan Kekhalifahan
Umayyah melalui Musa bin Nusair. Julian dendam kepada raja Goth karena sudah
mencemarkan nama baiknya dengan menghamili putri putrinya Florinda akibat
menolak untuk dinikahi. Anonim, “Thariq bin Ziyad”, Wikipedia, diakses dari http://id.m.wikipedia.org/wiki/Thariq_bin_Ziyad
pada tanggal 9 September 2016
[3] Muhammad Tohir, Sejarah Islam dari Andalus sampai
Indus, (Jakarta: PT. Dunia
Pustaka Jaya, 1981,
cetakan 1), hlm. 259.
[4] Muhammad Tohir, Sejarah Islam dari Andalus sampai
Indus, (Jakarta: PT. Dunia
Pustaka Jaya, 1981,
cetakan 1), hlm. 259.
[5] Muhammad Tohir, Sejarah Islam dari Andalus sampai
Indus, (Jakarta: PT. Dunia
Pustaka Jaya, 1981,
cetakan 1), hlm. 260.
[6] Basque
adalah sebuah etnik yang berada di timur laut Spanyol dan barat laut Perancis. Anonim, “Basque”, Wikipedia, diakses dari http://id.m.wikipedia.org/wiki/Basque pada tanggal 9 September 2016
[7] Anonim,
“Thariq bin Ziyad”, Wikipedia, diakses dari http://id.m.wikipedia.org/wiki/Thariq_bin_Ziyad
pada tanggal 9 September 2016
[8] Muhammad Tohir, Sejarah Islam dari Andalus sampai
Indus, (Jakarta: PT. Dunia
Pustaka Jaya, 1981,
cetakan 1), hlm. 269.
[9] Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT. Gravindo Persada, 2014, cetakan 25),
hlm. 95.
[10]
Ferdinand adalah raja Castilla yang menikahi Isabella dari Aragon untuk
mempersatukan Kristen di Andalusia Mas'ud Suherman, “Makalah Sejarah Peradaban
Islam: Islam di Andalusia”, Ibnu Mas'ud an Nautor, diakses dari http://ibnusuherman.blogspot.co.id/2015/02/makalah-sejarah-peradaban-islam-islam.html pada tanggal 16 September 2016
[11] Syam
pada zaman sekarang meliputi wilayah Syiria, Yordania, Libanon, dan Palestina. Muhammad Tohir, Sejarah Islam dari Andalus sampai
Indus, (Jakarta: PT. Dunia
Pustaka Jaya, 1981,
cetakan 1), hlm. 376.
[12] Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT. Gravindo Persada, 2014, cetakan 25),
hlm. 107.
0 komentar:
Posting Komentar